Company Culture untuk Perusahaan yang Remote dan Hybrid

Company Culture untuk Perusahaan yang Remote dan Hybrid

“72% karyawan menyukai company culture yang bersifat hybrid

Sebuah konsorsium dari Slack, bernama Future Forum, baru saja merilis sebuah studi yang menunjukkan bahwa, dari banyak perusahaan, mayoritas 72% karyawan menyukai company culture yang bersifat hybrid, dimana mereka memiliki opsi untuk Work From Home (WFH) atau Work From Office (WFO). Studi ini menyatakan bahwa opsi hybrid company culture ini memudahkan mereka untuk bekerja tanpa harus berpikir tentang logistik seperti transportasi, tapi juga masih memberikan kesempatan untuk saling tetap berhubungan dengan karyawan lainnya.

Tentunya satu kekhawatiran yang dimiliki oleh banyak pemimpin perusahaan dengan model bekerja ini adalah bagaimana company culture bisa berjalan? Bagaimana hubungan yang baik bisa terjalin antar karyawan yang jarang bertatap muka? Dan bagaimanakah cara untuk mengadaptasi company culture yang ada untuk semua karyawan tanpa perlu khawatir dari mana mereka bekerja?

Kekhawatiran tersebut bukan tidak berdasar. Beberapa studi* menunjukkan bahwa kemampuan kita dalam saling berhubungan menjadi kurang efektif saat kita tidak bisa bertemu langsung secara fisik, baik melalui meeting formal ataupun sekedar obrolan di pantry dan makan bersama. Hubungan-hubungan tersebutlah yang membentuk company culture yang kuat.

Company Culture untuk Perusahaan yang Remote dan Hybrid

Untuk menghadapi kekhawatiran tersebut, hal pertama yang perlu dilakukan ialah perusahaan perlu mengadaptasi culture yang ada dan memfasilitasi mereka yang bekerja sendirian dari rumahnya masing-masing. Selanjutnya, hal penting yang harus selalu dilakukan adalah tentunya untuk memanusiakan manusianya, dimana artinya perusahaan harus selalu rutin melaksanakan check up dengan karyawannya sendiri secara personal.

Waktu WFH tidak berarti bahwa karyawan ditinggalkan begitu saja. Selalu rutin reach out kepada mereka dan jalin hubungan yang baik agar si karyawan yang WFH tidak merasa tertinggal ataupun diabaikan. Selain itu, perusahaan juga harus memfasilitasi kegiatan yang bisa mengajak seluruh karyawannya, baik yang WFH ataupun WFO, untuk berkolaborasi, baik melalui kegiatan brainstorming, townhall, hingga waktu bersenang-senang bersama.

Nickle LaMoreaux, Chief Human Resources Officer dari IBM juga mengatakan, bahwa model hybrid ini juga menjadi kesempatan perusahaan untuk mereset hubungan antar karyawan. Saat meeting dengan karyawan lain, kita bisa melihat langsung bagaimana karyawan kita hidup di luar pekerjaannya. Lalu, kita bisa melihat mereka menggunakan baju santai, melihat ruangan pribadi mereka, melihat anggota keluarga atau peliharaan yang lewat saat meeting, dan lain lain. Hal ini membantu dia, juga IBM secara umum untuk memperkuat company culture yang personal dan bisa memanusiakan manusia.

Contoh lainnya adalah di Slack, dimana mereka merasa bahwa kesempatan ini menjadikan eksekutif mereka menjadi lebih approachable. Semua meeting di Slack yang tadinya dilaksanakan secara formal satu jam setiap bulannya, diganti menjadi satu kali per dua minggu selama 20 menit secara semi formal, dimana para eksekutif bergabung dari rumahnya masing-masing, kadang bersama anaknya yang sambil bermain di belakang. Hal ini menunjukkan keterbukaan dan menunjukkan budaya empati antara satu sama lain yang dalam skala besar diharapkan dari semua karyawan Slack untuk ditunjukkan kepada customer juga.

Meskipun begitu, tidak berarti pelaksanaan secara virtual menggantikan fungsi tatap muka dalam pelaksanaan company culture ini. Bahkan perusahaan yang fully remote seperti GitLab sekalipun tetap melaksanakan gathering secara tatap muka secara rutin untuk bersosialisasi antar fungsi departemen yang berbeda. Setiap perusahaan perlu mencari titik mana yang bisa membuat engagement paling efektif dan inklusif untuk semua karyawannya. Prosesnya tentunya akan sulit dan memakan waktu lama, perlu juga banyak trial-and-error dalam pelaksanaannya. Tetapi, hal ini merupakan investasi yang besar bagi sebuah perusahaan dan akan menghasilkan budaya kerja yang sangat bermanfaat dalam jangka panjang, tidak peduli kedepannya model bekerja seperti apa yang akan digunakan oleh perusahaan.

Source:

Yuk, baca artikel lainnya dari Firstasia Consultants!