Dalam era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Notifikasi, like, dan share bukan sekadar fitur aplikasi lagi, melainkan telah menjelma menjadi indikator hubungan sosial manusia. Meningkatnya penggunaan media sosial ini telah menimbulkan kekhawatiran baru yang mengancam peran kita terhadapnya. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah kita selaku pengguna masih berperan sebagai pengendali, atau justru kita yang dikendalikan?”
Pada awal penciptaannya, media sosial digunakan sebagai alat yang memudahkan kita untuk terhubung dengan orang lain dan menyebarkan informasi secara instan. Saat ini, seorang individu bisa menghabiskan waktunya menggunakan media sosial hingga rata-rata dua jam per hari. Pada generasi yang lebih muda, angka rata-rata ini bahkan bisa mencapai lima jam setiap harinya (Rancourt, 2024). Ketika dorongan untuk terus mengecek feeds dan memperoleh validasi digital menjadi kebutuhan psikologis yang sulit dikendalikan, perilaku ini dapat dengan mudah berubah menjadi obsesi.
Salah satu kekuatan media sosial terletak pada kemampuannya memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk merasa terhubung. Sebagai makhluk sosial, manusia secara naluriah mencari penerimaan dan interaksi. Media sosial dirancang sedemikian rupa oleh para pengembangnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, serta agar para pengguna tidak bisa lepas darinya. Tanpa disadari, respon seperti like maupun komentar memberikan efek psikologis yang mampu menciptakan rasa bahagia. Selain itu, ada juga fenomena Fear of Missing Out atau “FOMO” terhadap informasi turut menguatkan keterikatan individu terhadap media sosial.
Rancourt (2024) menyatakan bahwa tombol like telah menjadi salah satu penentu kebahagiaan pengguna media sosial. Semakin banyaknya like yang didapatkan, maka pengguna pun akan semakin merasa puas dan bahagia. Respon ini juga ditemukan memicu pelepasan dopamin dalam otak manusia, serupa dengan yang dialami oleh pengguna narkoba maupun penjudi (Miller, 2022). Responnya yang bersifat acak pun membuat para pengguna terus terdorong untuk kembali agar bisa mendapatkan rasa bahagia yang serupa.
Dorongan pengguna media sosial untuk terus mencari “efek bahagia” pada dunia digital dapat berakibat pada kesulitan membagi waktu. Semakin lama berdiam diri dan mengejarnya, maka semakin banyak juga kerugian yang dialami. Mulai dari kesulitan tidur, kepercayaan diri yang terus merosot, hingga ketidakmampuan untuk bersyukur karena selalu melihat perbandingan diri dengan citra online yang ditampilkan oleh pengguna media sosial lainnya (Amirthalingam & Khera, 2024). Selain itu, interaksi sosial yang telah berubah menjadi online ini juga menggeser esensi kehangatan dan keakraban manusiawi ketika bercengkrama.
Keakraban yang dahulu hanya hadir melalui interaksi tatap muka sekarang bisa digantikan cukup dengan pesan singkat. Melalui contoh ini dapat dikatakan bahwa kualitas interaksi sosial manusia saat ini telah sangat menurun. Dengan ini, tidak aneh apabila banyak orang yang terkesan akrab di dunia digital tapi tidak di dunia nyata di era saat ini. Jika tidak dibenahi, maka hal ini dapat menimbulkan dampak yang lebih besar untuk kehidupan sosial yang juga tercakup dalam kehidupan profesional kita sebagai pekerja.
Dari sudut pandang Human Resources, dampak negatif ketergantungan media sosial tidak hanya memengaruhi fisik namun juga mental para pekerja profesional. Maka dari itu, perusahaan perlu masuk ke ranah ini dan mengambil langkah pencegahan, seperti kampanye kesadaran bermedia sosial sampai dengan pelatihan manajemen stres. Tentunya tidak hanya untuk mengembalikan performa para pekerja, namun juga untuk menjaga kesehatan mental mereka.
Terlepas intervensi yang bisa diusahakan oleh organisasi, tetap perlu digarisbawahi bahwa kebijakan dalam bermedia sosial tetap dipegang sepenuhnya oleh penggunanya sendiri. Sebagai pengguna, kita harus berusaha mengurangi ketergantungan ini dengan mematikan notifikasi, membatasi lama penggunaan aplikasi, atau bahkan melakukan “detoksifikasi” media sosial. Jika kita merasa tidak berdaya, ada juga metode seperti Cognitive Behavioral Therapy atau CBT yang sudah terbukti efektif dan bisa kita dapatkan dari intervensi profesional.
Pada akhirnya, kita tidak bisa memperlakukan media sosial sebagai musuh. Media sosial akan selalu menjadi sebuah alat yang diciptakan untuk membantu kita. Dengan ini, kita memang harus menimbulkan kesadaran diri sendiri untuk tidak menyalahgunakannya. Dampak penggunaan media sosial pun bergantung pada penggunaan kita, dimana kita harus bijak baik dalam membagikan maupun menerima berbagai informasi yang disuguhkannya. Jika dimanfaatkan dengan baik, media sosial pun dapat menjadi dorongan bagi produktivitas dan kebahagiaan kita.
Bagaimana Anda memanfaatkan tools ini untuk kehidupan pribadi maupun profesional Anda? We would like to hear your experiences!
Jika Anda kebetulan menghadapi tantangan dalam menggunakan media sosial secara bijak, we would also like to help you through personal consultation.
Kindly reach out to us! Because your well-being always comes FIRST.
REFERENSI:
Amirthalingam, J., Khera, A. (2024). Understanding social media addiction: A deep dive. National Library of Medicine, 16(10). doi: 10.7759/cureus.72499.
Miller, S. (2022, 3 Juni). The addictiveness of social media: How teens get hooked. Retrieved from https://www.jeffersonhealth.org/your-health/living-well/the-addictiveness-of-social-media-how-teens-get-hooked
Rancourt, C. (2024, 12 Januari). The dark side of likes: Exploring the impact of social media addiction on mental health. Retrieved from https://www.newmilfordcounselingcenter.com/blog/addiction/the-dark-side-of-likes-exploring-the-impact-of-social-media-addiction-on-mental-health/#:~:text=Every%20time%20we%20get%20a,like%20gambling%20or%20drug%20use.